Di sudut halaman, Elio Vincent, berdiri sambil menggenggam buku fisikanya. Dia memandangi langit yang perlahan cerah, membiarkan pikirannya tenang dan berkelana terbang jauh. Elio bukan tipe anak yang hanya mengerjakan tugas dan pulang begitu saja. Di dalam hatinya, ada mimpi besar yang terus tumbuh–menjadi pilot, terbang melintasi dunia.
Mimpi itu dimulai sejak kecil, ketika Elio pertama kali melihat pesawat melintasi langit di atas rumahnya. Pesawat itu tampak seperti burung raksasa yang memiliki sayap besar, membelah awan putih yang begitu tebal. Sejak saat itu, dia mulai mencari tahu segala hal tentang penerbangan. Setiap waktu luangnya dihabiskan dengan membaca buku, mencari tahu tentang dunia penerbangan, hingga menghafal nama-nama bandara di berbagai belahan negara.
Namun, tak banyak yang tahu mimpi Elio ini. Di sekolah, dia dikenal sebagai siswa teladan, pintar, dan selalu dapat nilai tinggi. Tapi, saat teman-temannya bercita-cita jadi dokter atau insinyur, Elio justru memimpikan kokpit pesawat—sesuatu yang terdengar sulit bagi sebagian orang, bahkan mustahil untuk digapai.
“El, lu serius mau jadi pilot?” tanya Reza, teman dekatnya.
Elio hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Dia tahu mimpinya butuh usaha besar, terutama matematika, fisika, pelatihan khusus, hingga biaya yang tak sedikit. Tapi Elio tidak pernah gentar. “Kalau nggak sekarang, kapan lagi?” pikirnya.
Untuk mendekatkan dirinya dengan dunia penerbangan, Elio mulai bergabung dengan klub penerbangan di sekolah. Bersama teman sekelasnya, mereka belajar dasar-dasar navigasi pada dunia penerbangan. Kadang, Elio juga menyempatkan diri ke bandara, berdiri di dekat pagar hanya untuk melihat pesawat lepas landas. Ada rasa kagum setiap kali dia melihat para pilot dengan tenang mengendalikan pesawat.
Kesempatan besar datang ketika Elio diundang mengikuti lomba simulasi penerbangan tingkat nasional. Awalnya dia ragu, tapi atas dukungan teman-temannya membuatnya berani mengambil tantangan itu. Selama berminggu-minggu, dia berlatih keras, mempelajari peta rute, hingga menghafal prosedur darurat.
Hari H tiba. Jantung Elio berdegup kencang ketika namanya dipanggil. Dia duduk di simulator, mengenakan headphone, dan bersiap untuk terbang. Tangannya sedikit gemetar, tapi tekadnya kuat. “Ini saatnya,” gumamnya.
Perlahan, dia memulai simulasi. Di layar, pesawatnya melaju di atas pegunungan hijau, menyusuri garis pantai yang membentang jauh. Setiap tombol dan tuas dia kendalikan dengan hati-hati, memastikan semua sesuai rencana. Rasa gugupnya berganti dengan kepuasan saat pesawat mendarat mulus di tujuan.
Elio keluar dari simulator dengan senyum lebar. Dia tidak hanya menyelesaikan lomba, tetapi juga memenangkan hati para juri. Kemenangannya menjadi bukti bahwa dia memiliki apa yang diperlukan untuk mengejar mimpinya.
Di perjalanan pulang, Elio memandangi langit. Ia tahu jalannya masih panjang, dengan banyak rintangan di depan. Tapi, ia tidak takut. Baginya, setiap langkah yang diambil mendekatkannya pada mimpi itu.
“Elio Vincent,” gumamnya pada diri sendiri, “suatu hari nanti, nama itu akan dikenal sebagai sang pemimpi langit.”